Text
Soedirman: seorang panglima, seorang martir
“Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit.” Demikian kutipan di sampul belakang buku bertajuk Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir ini. Ujaran itu menyiratkan satu adegan dalam buku ini, ketika Panglima Besar Jenderal Soedirman bangkit dari pembaringannya dan memutuskan memimpin pasukan keluar dari ibukota negara, Yogyakarta: mengonsolidasikan tentara dan mempertahankan Republik dengan bergerilya.
Saat itu, Indonesia bak balita. Setelah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II, Belanda—dengan membonceng tentara Sekutu yang datang buat membebaskan tawanan perang—bermaksud menjajah Indonesia kembali. Dengan dikomandani Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, Belanda melancarkan serangan terhadap pos dan tangsi-tangsi militer di Jawa: menangkap Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir (hal. 31).
Buku ini adalah biografi Panglima Besar Jenderal Soedirman, sosok yang amat dihormati dan meletakkan fondasi kultur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keunikan buku yang secara khusus disusun para wartawan ini terletak pada format pengemasannya. Berbeda dengan biografi pada umumnya, riwayat hidup sang jenderal dibeberkan dengan langgam jurnalisme. Dan, bukan sembarang jurnalisme, melainkan jurnalisme sastra.
SG006 | 923.559 8 s | My Library | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain